Maha Guru Hasyim Asy’ari
Harian Bhirawa, Apr 10th, 2014
Perjuangan Maha Guru Hasyim Asy’ari
Judul buku : Guru Sejati
Hasyim Asy’ari: Pendiri Pesantren Tebu Ireng yang Mengakhiri Era Kejayaa Kebo
Ireng dan Kebo Kicak
Penulis :
Masyamsul Huda
Penerbit :
Pustaka Inspira, Jakarta
Cetakan : I, Maret 2014
Tebal : 270 Halaman
ISBN : 978-602-97066-6-6
Tahun
1870 menjadi titik mula masuknya kapitalisme ke Indonesia. Ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Gula dan Undang-Undang Agraria di Hindia Belanda. Belanda
mendirikan Pabrik Gula Cukir di wilayah Timur pulau Jawa.
Pendirian
pabrik dilakukan secara sewenang-wenang. Belanda mengambil paksa lahan para petani
dan mengabaikan hak-hak rakyat. Dengan cara sewenang-wenang Belanda menyulap
lahan penduduk menjadi lokasi pabrik. Hal itu pun memicu perlawanan dari
masyarakat sekitar.
Sebab
itu, Belanda mempertahankan pabrik tersebut dengan beragam cara. Termasuk
dengan melanggengkan pelacuran dan perjudian disekitar pabrik. Akibatnya, suasana
Dusun Sumoyono berubah menjadi carut-marut.
Perkelahian
antar warga sudah menjadi pemandangan biasa. Pemerkosaan menjadi kabar yang
menakutkan bagi kaum perempuan. Warga sekitar terlilit hutang sebab gaji yang
semestinya dibelikan bahan pokok habis dalam meja perjudian.
Penduduk
Sumoyono menyebut lokasi itu dengan nama Kebo Ireng. Kebo Ireng dikendalikan
seorang jawara bernama Joko Tulus. Ketokohan Joko Tulus di Kebo Ireng ibarat
raja kecil, sehingga masyarkat menjulukinya Kebo Kicak. (Halaman 103)
Buku
bertajuk Guru Sejati Hasyim Asy’ari ini, menguraikan perjuangan Maha
Guru Hasyim Asy’ari dalam merintis Pondok Pesantren Tebu Ireng. Agar bisa
dipakai sebagai rujukan memahami sejarah dan menjadi pelajaran berharga atas
perjuangan KH Hasyim Asy’ari.
Sebagai
dalang terkenal dan orang terhormat di wilayah Sumoyono, Sakiban tidak bisa
terus berdiam diri. Akhirnya, dia memutuskan bertemu denga Alwi untuk
membincangkan masalah Pabrik Cukir. Alwi pun mengusulkan Hasyim Asy’ari sebagai
tokoh pembaharu yang dapat merubah kondisi tersebut.
Saat
bertemu dengan Hasyim Asy’ari, Sakiban merasa menemukan tokoh yang selama ini
ia cari. Sosok pemimpin yang kharismatik, bersahaja, dan panutan menuju jalan
kebenaran. Sekaligus pemimpin yang kuat secara ilmu ekonomi dan agama Islam
terdapat dalam diri Hasyim Asy’ari.
Tidak
mudah mencari pemimpin yang amanah dan mau ikhlas mengorbankan seluruh hidup
dan matinya untuk perjuangan di tengah peradaban yang sudah rusak. Karena ini
butuh keikhlasan, kesabaran dalam melakukan perjuangan mengubah peradaban
secara permanen dan jangka panjang.
Satu-satunya
cara menghilangkan penyakit sosial di Pabrik Cukir tanpa kekerasan adalah
dengan membangun pondok pesantren. Maka Sakiban memberikan wakaf sebidang tanah
sebelah Utara Pabrik Cukir sebagai lokasi pondok pesantren.
Hasyim
Asy’ari meletakkan dasar pendidikan yang berharga dengan menolak wakaf tanah dan tetap membayar tanah tersebut. Baginya memperjelas suatu kepemilikan akan lebih aman dan bermartabat
dibanding menerima sesuatu yang kelak bisa diperdebatkan. (Halaman 191)
Hasyim Asy’ari bersama
Sakiban dan Alwi memulai merintis pendirian pondok
pesantren. Pada mulanya pondok pesantren ini hanya padepokan silat dan pengobatan. Itu untuk mengelabui Belanda yang selalu
mencurigai pendirian pondok pesantren. Bahkan, Sakiban mendatangkan beberapa
santri dari berbagai daerah yang menguasai ilmu kanuragan.
Sekalipun pendirian pondok pesantren mendapatkan
gangguan dan ancaman, Hasyim Asy’ari tetep memperlihatkan sikap bersahabat dengan siapa saja. Termasuk pihak-pihak yang tidak suka dengannya. Kedalaman ilmu,
wawasan dan kesantunan sikap selalu dia tunjukkan di mana pun. Sehingga semkin banyak memikat hati siapa saja yang mulai
mengenalnya.
Keahliannya
dalam bercocok tanam juga membuat masyarakat sekitar semakin kagum dengannya. Menurut Hasyim
Asy’ari, perlunya membangun
pondasi agama yang baik dan membangun ekonomi masyarakat secara paralel dalam metode pendidikan. Pembangunan pusat pendidikan yang ideal adalah pesantren yang
mampu meletakkan pondasi dengan membangun etika bagi setiap santri. (Halaman 172)
Tujuh
tahun sejak berdirinya pondok pesantren, nama Hasyim Asy’ari semakin dikenal
masyarakat. Islam dan pondok pesantren itu berkembang pesat bukan karena
paksaan dan tekanan, melainkan dengan sukarela.
Hasyim Asy’ari menginginkan pesantren itu memiliki nama
yang bisa menjadi tetenger sebuah perubahan. Tebu
Ireng adalah nama yang tepat. Nama ini
memiliki nilai filosofis yang berarti tebu yang paling baik jenisnya adalah
tebu ireng, batang tebu yang berwarna hitam. Dari tebu jenis yang paling baik
inilah kita berharap dan atas izin Allah akan menghasilkan gula yang paling
bermutu dan bernilai jual tinggi. (Halaman 260)
Sebagai
keturunan Kiai Sakiban, Masyamsul Huda menyuguhkan karya yang orisinil. Fakta-fakta yang diambil berdasarkan cerita dari orangtua,
masyarakat setempat dan Sekitar Tebu Ireng dan disadur dari berbagai literatur.
Masyamsul Huda tidak
mengeksplorasi sosok dan ketokohan Hasyim Asy’ari secara panjang lebar. Tetapi dia hendak
menghadirkan dan menyuguhkan cerita sejarah Pabrik Cukir, Kebo Ireng, Kebo
Kicak dan Tabu Ireng sebagai rangkaian sejarah yang tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lainnya.
Buku
ini menguak rahasia perjuangan Hasyim Asy’ari. Sebagai Maha Guru Sejati yang membangun, membesarkan dan
mempertahankan Pondok Pesantren Tebu Ireng dari Gempuran dunia hitam Kebo
Ireng. Sebuah fakta sejarah pengorbanan santri
dan kiai dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar